Fayakhun Andriadi: Indonesia Naif? Bagian Satu
Tulisan ini merupakan tulisan bagian
kedua dari salah satu pandangan FayakhunAndriadi tentang peristiwa penyadapan pemerintah Australia terhadap
pemerintah RI. Berikut lengkapnya.
Damai itu memang indah. Tiada resah dan gelisah, sehingga
hidup menjadi lebih terarah. Karena itu hampir tidak ada orang yang menentang
perdamaian di dunia ini. Ia merupakan tujuan utama dari kemanusiaan. Meski
banyak orang atau pun kelompok yang berbeda pandangan tentang apa itu
perdamaian, bagaimana mencapainya, dan apakah perdamaian benar-benar dapat
tercipta?, namun pada intinya hampir tidak ada satu orang pun yang tidak
mencintai perdamaian.
Salah satu yang menunjukkan bagaimana perdamaian begitu
diterima banyak orang mungkin adalah kepopuleran lagu “Imagine” karya John Lenon. “Di banyak negara di
seluruh dunia, saya dan istri saya telah mengunjungi sekitar 125 negara, dan
kita dapat mendengar lagu “Imagine” hampir sama seringnya dengan lagu
kebangsaan”, demikian ungkap Jimmy Carter dalam majalah Roolingstone
tahun 2004.
Karena begitu populer, lagu ini tentu saja sejenak dapat
menjadi media untuk menyampaikan pesan perdamaian keseluruh dunia. Sehingga
semakin banyak orang kian cinta terhadap perdamaian. Hanya saja sebagaimana
nada satire yang terasa dalam lyric lagu tersebut, bahwa perdamaian di
dunia ini sebetulnya begitu utopis. Terutama dengan kenyataan bahwa sejarah
manusia hamper tidak pernah lepas dari kekerasan dan peperangan. Bahkan,
tradisi barbar ini telah semakin akrab dan sering menjadi penyelesaian
akhir berbagai macam konflik antar bangsa dan negara. Demokrasi, kebebasan dan
perdamaian mati-matian dipertahankan, sementara trio-ekonomi, politik, dan sains
membanting tulang untuk menghasilkan persenjataan yang canggih dan
mematikan. Dan anehnya, tak sedikit pula orang yang malah mengharapkan upaya
peperangan sebagai solusi sebuah perubahan dan kesejahteraan, welfare state
is warfare state, kata Herbert Marcuse. Maka tak heran pasca perang dunia
II negara-negara maju terutama AS dan Rusia saling berlomba memodernisasi
persenjataannya.
Masih segar dalam ingatan kita, ketika terjadi kebuntuan
resolusi nuklir Iran yang semakin menegangkan hubungan dengan pihak barat,
dunia intenasional dikejutkan dengan uji coba senjata anti satelit milik
China. Sontak Amerika yang sebelumnya mati-matian mendorong IAEA dan PBB untuk
menjatuhkan sanksi terhadap Iran uring-uringan. Pasalnya, kemajuan teknologi
persenjataan China ini telah mendobrak hegemoni AS atas penguasaannya di
angkasa lepas. AS-pun akhirnya harus terseret ke meja perundingan untuk membuka
kembali kesepakatan internasional yang mencegah perlombaan senjata di angkasa,
yang saat ini hanya dikuasai AS.
Sementara itu Inggris yang selama ini menjadi sekutu AS dalam
membuat peraturan pengembangan senjata nuklir yang paling vokal mengkritik
modernisasi nuklir negara lain, akhirnya juga mulai terang-terangan dalam
memodernisasi nuklirnya. Ketegangan pun tak dapat dihindari, perdamaian dunia
dengan demikian benar-benar sedang terancam.
Bahkan menurut laporan Stockholm International Peace
ReseacheInstitute (SIPRI) menyebutkan bahwa, modernisasi senjata nuklir
pasca perang dingin telah membuat Amerika memiliki sekitar 4500 hulu ledak
nuklir yang telah terarah dan siap diluncurkan tanpa mendapat persetujuan kongres
sekalipun. Sementara Rusia saat ini memiliki sebanyak 3.800 buah hulu
ledak nuklir, China, Prancis, dan Inggris masing-masing antara 200 hingga 400
buah hulu ledak (Kompas, 13/06/2007). Potensi-potensi perperangan yang kian
membuat kita semakin sulit untuk meraih perdamaian dunia.
Relasi antara perdamaian dan peperangan yang memperihatinkan
tersebut semakin memperkuat tendensi bahwa, masyarakat modern secara
fundamental bersifat rasional sekaligus juga irrasional.
Rasionalisasi dan efisiensi diterapkan dalam ilmu pengetahuan serta teknologi
dalam taraf yang teramat tinggi, termasuk dalam upaya penyadapan. Namun di sisi
lain ternyata masyarakat yang modern tersebut menunjukan ciri-ciri yang sama
sekali irrasional. Atas nama kebebasan, demokrasi dan perdamaian manusia
modern dan rasional tak jarang menghalalkan berbagai macam cara untuk
memperluas pengaruh dan kekuasaannya. Spionase, sabotase, invasi militer dan
peperangan pun pada akhirnya dianggap sebagai tindakan pre-emtive dan
sebuah tindakan yang wajar serta legal.
Indonesia boleh saja berpolitik zero enemies, million
friends, tapi arsitektur keamanan nasional termasuk sistem persandian anti
sadap harus dibangun secara lebih terintegrasi. Dan yang lebih penting lagi
tentu saja adalah politik luar negeri serta politik keamanan nasionalnya harus
mengedepankan prinsip realisme politik. Prinsip yang bersandar pada doktrin
bahwa, meskipun politik luar negeri kita meniscayakan perdamaian dunia, namun
juga jangan lupa untuk mempersiapkan diri dari agresi negara lain (legitimate
self defense).
Pak
SBY, harapan akan memupuk millions of friends, ternyata berbuah millions
of enemies yang mengintai kita. Kita harus selalu waspada.
Komentar
Posting Komentar