Fayakhun Bicara Tanggung Jawab Rakyat Pasca Pilpres 2014
Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta, Fayakhun Andriadi, mengungkapnya apresiasinya terkait kesuksesan Pilpres 2014. Meski
demikian, Fayakhun mengingatkan bahwa masih ada tanggungjawab yang diemban oleh
masyarakat. Fayakhun menulis :
“Pemilu 2014 sudah selesai dilaksanakan dengan
sukses. Namun ini baru garis start. Setelah ini, tanggungjawab demokratis yang
tak kalah beratnya menanti rakyat Indonesia, yaitu mengawal, menjaga,
mengkritisi dan mengawasi pemerintah terpilih. Siapapun presiden yang terpilih,
menjadi tanggungjawab rakyat Indonesia untuk mengawasi agar janjinya
direalisasikan menjadi bukti, visinya diturunkan menjadi aksi, misinya
diwujudkan dalam realisasi. Tanggungjawab ini harus dilaksanakan rakyat hingga
Pemilu 2019 nanti. Pemilu 2019 menjadi garis finish bagi pemilu 2014, tapi
sekaligus juga menjadi garis start bagi Pemilu 2024.”
Terkait dengan tanggungjawab ini, Fayakhun berharap agar masyarakat turut aktif mengawal demokrasi. Ada celah yang harus
diisi masyarakat yang ia sebut sebagai proses “diskursus” sebagaimana yang
diteorikan oleh Jurgen Habermas. Fayakhun menulis : “diskursus adalah sebuah
kondisi dimana warga negara saling mengekspresikan aspirasi, persepsi, atau
opininya tentang negara. Mereka dapat mengkritik dan tidak setuju dengan sebuah
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Juga sebaliknya, mereka dapat mendukung
sebuah kebijakan. Warga negara dapat secara bebas menilai dan mengemukakan
pendapat mereka tanpa ada tekanan.”
“Jika ada kebijakan pemerintah yang tidak
disetujui, seorang warga negara dapat secara leluasa mengkritik dan menolaknya.
Bahkan, mereka dapat menggalang dukungan dalam bentuk petisi. Sebaliknya, warga
negara yang setuju dengan kebijakan tersebut juga dapat menyampaikan
persetujuannya tersebut, dan menggalang dukungan publik,” lanjut Fayakhun.
Tradisi diskursus ini begitu penting sehingga harus berjalan dengan baik. Fayakhun menilai, diskursus yang berjalan baik akan mendatangkan dua keuntungan. “Pertama, negara (pemerintah) tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan dalam sistem kenegaraan. Negara hanyalah salah satu sistem diantara berbagai sistem lainnya. Ketika pemerintah tidak menepati janjinya, rakyat tidak lantas hilang harapan. Mereka dapat menggunakan jalur diskursus menagih janji terhadap pemerintah. Ketika kebijakan negara bertolak belakang dengan yang dijanjikannya dulu saat kampanye, maka jalur diskursus dapat digunakan oleh rakyat untuk menolaknya.”
Tradisi diskursus ini begitu penting sehingga harus berjalan dengan baik. Fayakhun menilai, diskursus yang berjalan baik akan mendatangkan dua keuntungan. “Pertama, negara (pemerintah) tidak lagi menjadi satu-satunya kekuatan dalam sistem kenegaraan. Negara hanyalah salah satu sistem diantara berbagai sistem lainnya. Ketika pemerintah tidak menepati janjinya, rakyat tidak lantas hilang harapan. Mereka dapat menggunakan jalur diskursus menagih janji terhadap pemerintah. Ketika kebijakan negara bertolak belakang dengan yang dijanjikannya dulu saat kampanye, maka jalur diskursus dapat digunakan oleh rakyat untuk menolaknya.”
“Kedua, pemilu tidak menjadi satu-satunya cara
rakyat untuk berpartisipasi dalam demokrasi. Ikut serta dalam diskursus menjadi
bentuk partisipasi lain dari rakyat dalam demokrasi. Melalui jalur diskursus,
rakyat mengontrol, mengawasi, mengkritik, menolak, atau menyetujui kebijakan
yang ditempuh pemerintah. Berdasarkan logika ini, maka ketika warga negara
sudah menggunakan hak suaranya pada pemilu, itu baru awal dari penunaian
tanggungjawab demokratisnya. Pemilu baru garis start. Setelah memilih pada
pemilu, rakyat akan terus melanjutkan tanggungjawab demokratisnya dengan cara
terlibat dalam diskursus. Ini dilakukan terus menerus hingga sampai pada garis
finish berupa pemilu selanjutnya,” pungkas Fayakhun.
Komentar
Posting Komentar